Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak
tunarungu tidak dapat berbuat apapun. Pandangan yang semacam ini sangat
merugikan anak tunarungu. Karena adanya pandangan ini biasanya dapat kita lihat
sulitnya anak tunarungu untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Disamping
pandangan karena ketidakmampuannya tadi, Ia sulit untuk bersaing dengan
orang normal.
Kesulitan memperoleh pekerjaan di masyarakat
mengakibatkan timbulnya kecemasan, baik dari anak itu sendiri maupun dari
keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu
karena anak tidak dapat bekerja sebagaimana biasanya. Oleh karena itu
masyarakat hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu
walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim
dilakukan oleh orang normal pada umumnya. Untuk menunjang keaktifan anak
tunarungu agar mereka tidak disisihkan dari masyarakat dan tidak di anggap
remeh dalam masyarakat maka diperlukan peranan orang tua dalam pendidikan anak
tunarungu serta implikasi untuk peningkatan
layanan pendidikan dan latihan bagi anak tunarungu.
1.
Peranan orang tua dalam
pendidikan anak tunarungu
Setiap
orang tua pasti tidak pernah membayangkan bahwa anaknya akan menyandang
pendikat anak luar biasa atau berkelainan. Masa-masa yang paling kritis dalam
kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya
berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan berbagai macam reaksi. Beberapa
diantaranya akan berusaha menghindari dari kenyataan ini, seperti dengan
menyembunyikan anak tersebut. Tetapi ada juga yang berhati mulia menghadapi
kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anak yang
berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang
tua terhadap kelainan anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya
adalah merupakan suatu kebijakan yang paling besar. baik untuk kebahagiaan anak
itu sendiri maupun untuk orang tua atau keluarganya. Sikap positif yang
dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya yaitu sikap
yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga
dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima tidak berarti menyerah
kepada nasib dirinya maupun anaknya tanpa memikirkan dan merencanakan prospek
kehidupan masa depan anaknya. Sikap menerima justru mendorong motivasi utuk
merencanakan kesejahteraan kehidupan lahir dan batin yang layak sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, maupun
sebagai anggota masyarakat. Ada persepsi lain bahwa pada Pada
awalnya banyak orang tua yang bersikap menolak bahwa anaknya difonis sebagai
kurang mendengar atau tunarungu. Biasanya sikap menolak dan tidak mau menerima
terhadap kekurangan anaknya. Bahkan kadangkala orang tua atau keluarga saling
menyalahkan dan saling tuding sehingga akan menimbulkan kekacauan baru berupa
keretakan rumah tangga. Adapun sikap orang tua terhadap anak selanjutnya adalah
sikap terlalu melindungi (over protection) dan semua gerak anak selalu
diawasi.Seiring dengan berkembangnya anak, maka kesulitan lainnya yang muncul
adalah masalah penciptaan bahasa isyarat bagi anak. Bagi anak akan berbeda bila
dihadapkan pada dunia atau kelompok orang-orang yang tidak mengerti bahasa
isyaratnya.Dampak ketunarunguan yang telah tercermin dalam karakteristik,
semuanya berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya proses pendidikan.
Berikut ini disarankan beberapa
petunjuk yang dapat diperguakan sebagai pegangan dalam mendidik dan melatih
anak tunarungu:
·
Didiklah anak tunarungu seperti
mendidik anak yang mendengar, maksudnya orang tua bersikap sama terhadap
anak-anaknya. Adapun caranya bisa berbeda disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan anak tunarungu.
·
Libatkanlah anak tunarungu
dalam kegiatan keluarga. Jangan mengasingkan anak tuanrungu.
·
Jangan memanjakan anak
tunarungu secara belebihan.
·
Berilah anak tunarungu
kesempatan bermain seluas mungkin termasuk bermain dalam aktivitas belajar
juga.banyak permainan yang secara tidak langsung mempersiapkan diri anak agar
kelak dapat hidup dalam bermasyarakat.
·
Anak tunarungu harus diberikan
contoh prilaku yang baik.
·
Anak tunarungu perlu dilatih
agar senang membantu pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan permainan,
menyapu, menyuci, merapikan rak buku/ lemari pakaian.mengerjakan hal-hal yang
kecil seperti itu sama halnya dengan membiasakan untuk menerima tanggung jawab.
Untuk
mengatasi tantangan tersebut ada empat prinsip yang perlu diperhatikan sebagai
pertimbangan untuk mensukseskan pendidikan anak tunarungu.Gallauded (1997)
dalam Harris dkk (1997) menyampaikan antara lain :
·
anak tunarungu
diharapkan mampu mengakses bereneka ragam lingkungan pendidikan secara luas,
·
para siswa tunarungu diharapkan mampu
mengakses semua layanan khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan pendidikan
normal,
·
siswa dan para orang
tua diharapkan mampu mengakses secara bebas pilihan program pendidikan, dan
·
tingginya biaya
pendidian anak tunarungu tidak semata-mata disebabkan oleh satu atau beberapa
faktor melainkan kompleks.Cohen et.al. dalam Harris dkk (1997) berpendapat
bahwa tingkat kemampuan yang rendah anak tunarungu tidak disebabkan karena
ketidak mampuan belajar mereka tapi lebih disebabkan adanya problem-problem
dalam komunikasi antara guru dan siswa tunarungu. Ini juga disebabkan
ketakmampuan mereka mengakses/memahami bahasa dalam setting di kelas. Hal yang
paling penting lagi bahwa anak-anak didik secara meinstreming (terintegrasi)
harus mampu memahami bahasa yang ada di lingkungan.Para pendidik diharapkan
mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada
lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/pendidik apabila
menemui masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak
tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak tunarungu.
2.
Peningkatan layanan pendidikan
dan layanan pendidikan dan latihan bagi anak tunarungu.
·
Bimbingan dan konseling bagi
anak tunarungu.
Masalh-masalah bimbingan anak
tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan (tunarungu) namun karena ia
seorang anak yang berkembang. Anak akan menghadapi masalh-masalah yang lain
yang juga dihadapi oleh anak-anak yang mendengar, untuk dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan orang yang mendengar. Agar dapat memberikan layanan bimbingan
kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa
depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat
mensuport dirinya sendiri ataupun keluarganya maka pendidikan bagi anak
tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan dan konseling yang biasanya
guru menjadi objek pertama memiliki latar belakang pengetahuan mengenai
dinamika tingkah laku anak tunarungu.
·
Bimbingan komunikasi kepada
anak tuanarungu hambatan dan komunikasi menimbulkan masalah dalam sosialisasi ,
karena sosialisasi hanay dapat dilaksanakan dengan komunikasi. Dalam kehidupan
bermasyarakat sesorang harus memahami kedudukannya, statusnya, hak dan
kewajibannya. Bimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan untuk
membuka dan memperlancar komunikasi mereka, sehingga akan memperlancar
pencapaian tujuan yang dilakukan secara serempak di lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
ü Bimbingan
di lingkungan keluarga antara lain : mengarahkan pergaulan, menanamkan rasa
tanggung jawab, latihan memahami perintah, anjuran, ajakan, latihan
penghayatan, dan belajar ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,
letihan mengungkapkan pendapat, orang tua sebagai pembimbing utama dalam
lingkungan keluarga, perlu memahami benar keadaan anaknya.
ü Bimbingan
diligkungan sekolah
Bimbingan yang dilakukan
disekolah dapat melalui lomunikasi dalam hal mentaati tata tertib, disiplin,
dalam hubungan social yang lebih luas, menanamkan rasa tanggung jawab dalam
memikul tugas kelompok maupun individual, sopan santun serta memberikan sesuatu
yang baik.pemahaman seorang guru terhadap siswanya secara individual sangat
penting, terutama dalam kemampuan dan kecakapan anak dalam bekomunikasi dan
sosialisasinya.
ü Bimbingan
di lingkungan masyarakat
Bimbingan komunikasi yang
dilakukan di masyarakat dapat melalui kegiatan yang berencana dan terarah.
Kegiatan berencana tersebut misalnya yang memberikan peluang untuk
berkomunikasi secara bebas., misalnya kegiatan pertandingan-pertandingan olah
raga, pementasan seni, pameran, perkemahan dan lain sebagainya. Kegiatan yang
sifatnya insidentalpun dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan bimbingan
dalam komunikasi secara bebas misalnya mengikut sertakan anak dalam upacara
perkawinan, khitanan dan kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tentu
tidak bisa lepas dari peran serta orang tua dalam bekerja sama dengan
masyarakat sehingga pelaksanaan bimbingan tersebut daapt berjalan dengan lancar
dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Lingkungan
juga mencakup aspek-aspek masyarakat secara keseluruhan yang sangat penting
adalah definisi cultural tentang ketunarunguan dan sikap terhadap ketunarunguan
. Makna yang diberikan oleh masyarakat terhadap ketunaan juga berdampak besar
pada respon individu terhadap ketunaan. Sikap masyarakat dapat
termanifestasikan dalam perundang-undangan, maupun dalam penggambaran citra,
pendeskripsian dalam bahasa, dan inklusi penyandang ketunaan dalam semua aspek
kehidupan. Apabila individu mendapatkan pengalaman negative dalam hal tersebut,
maka ketunaannya pun berdampak besar pada kehidupannya. Seorang konselor
rehabilitasi harus memahami konteks social, politik, dan budaya dari ketunaan,
agar dapat memahami pengalaman individu tersebut.
Gerakan
hak azasi penyandang ketunaan, yang dipimpin oleh individu penyandang
ketunarunguan , telah memaksakan perubahan social positif yang signifikan bagi
para penyandang ketunaan dalam pelayanan, kemandirian, perlindungan hukum,
control, pilihan, dan penghormatan. Dengan mengorganisasikan, memaksakan
konfrontasi, dan berusaha untuk mengubah system, banyak penyandang ketunaan
dapat mengembangkan rasa bangga dan berdaya (Fleischer & Zanies, 2001;
Shapiro, 1993). Sayangnya, gerakan hak azasi penyandang ketunaan ini tidak
selalu dipandang positif oleh masyarakat umum, oleh profesional, ataupun oleh kelompok
penyandang ketunaan tertentu. Ada orang yang merasa kesal dengan kemandirian
dan "bossiness" para konsumen ini, atau merasa bahwa kemarahan dan
pembangkangan sipil itu tidak pantas, dan beranggapan bahwa para penyandang
ketunaan seharusnya berkiprah dalam system yang ada saja.
Konselor
harus menelaah sikapnya terhadap ketunaan yang telah diserapnya dari masyarakat
umum, maupun perasaannya tentang kemandirian, pilihan, dan kemarahan dari pihak
penyandang ketunaan. Setiap konselor perlu mempertimbangkan
pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah saya menginginkan atau mengharapkan ucapan
terima kasih dan kepatuhan dari klien saya? Apakah saya sadar akan hambatan
lingkungan, perundang-undangan, dan hambatan social yang dapat mewarnai detail
kehidupan sehari-hari seorang individu penyandang ketunaan?
Di dalam masyarakat ini, yang menghargai kemandirian, rasionalitas, dan keindahan fisik, penyandang ketunaan secara signifikan menjadi terdevaluasi (Vash,1981). Devaluasi ini mungkin termanifestasikan dalam bentuk ungkapan rasa kasihan, cemooh, atau pengucilan. Sikap negative masyarakat pada umumnya terhadap ketunaan dapat mempunyai dampak yang signifikan pada konsep diri seorang individu. Dalam kenyataannya, tidak ada demarkasi yang jelas antara persepsi masyarakat tentang ketunaan dengan penyesuaian individu terhadap ketunaannya karena individu menginternalisasikan banyak penilaian dan reaksi masyarakat terhadap ketunaan (Smart, 2001). Harga diri (self-esteem) berkembang secara internal maupun eksternal selama tahap-tahap awal perkembangan. Harga diri seseorang pada umumnya diperoleh dari perilaku dan verbalisasi orang lain (eksternal). Ketika seorang individu sudah matang dan menjadi produktif, kompeten, dan bertanggung jawab, harga diri menjadi proses yang lebih berorientasi internal (Tuttle & Tuttle, 1996). produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.
Di dalam masyarakat ini, yang menghargai kemandirian, rasionalitas, dan keindahan fisik, penyandang ketunaan secara signifikan menjadi terdevaluasi (Vash,1981). Devaluasi ini mungkin termanifestasikan dalam bentuk ungkapan rasa kasihan, cemooh, atau pengucilan. Sikap negative masyarakat pada umumnya terhadap ketunaan dapat mempunyai dampak yang signifikan pada konsep diri seorang individu. Dalam kenyataannya, tidak ada demarkasi yang jelas antara persepsi masyarakat tentang ketunaan dengan penyesuaian individu terhadap ketunaannya karena individu menginternalisasikan banyak penilaian dan reaksi masyarakat terhadap ketunaan (Smart, 2001). Harga diri (self-esteem) berkembang secara internal maupun eksternal selama tahap-tahap awal perkembangan. Harga diri seseorang pada umumnya diperoleh dari perilaku dan verbalisasi orang lain (eksternal). Ketika seorang individu sudah matang dan menjadi produktif, kompeten, dan bertanggung jawab, harga diri menjadi proses yang lebih berorientasi internal (Tuttle & Tuttle, 1996). produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.
Sebagian
besar anak penyandang ketunaan tumbuh dengan pesan-pesan bahwa mereka tidak
sebaik anak tanpa ketunaan, bahwa kelainannya membuat mereka "tidak
okay". Akibatnya, banyak penyandang ketunaan memasuki masa dewasa dengan
merasa membutuhkan persetujuan dan validasi. Seorang konselor sebaiknya
menyadari sikap negative masyarakat terhadap ketunaan dan dampak sikap negative
tersebut pada rasa harga diri individu tersebut.
Banyak orang dewasa penyandang ketunaan tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.
Banyak orang dewasa penyandang ketunaan tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar