Senin, 09 April 2012

PERANAN SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN ABK PERMASALAHAN ABK DALAM PENDIDIKAN INKLUSI



Di Indonesia pemerintah sedang berupaya meningkatkan mutu pendidikan yang diwujudkan dalam pembuatan program – program baru, contohnya program dana BOS dan sekolah gratis. Pendidikan bagi ABK pun tidak luput dari perhatian pemerintah. Sehingga pemerintah mulai mengupayakan program – program baru dalam rangka meningkatkan potensi ABK dalam bidang akademik maupun non akademik. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1, yaitu “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk pendidikan ABK adalah pendidikan inklusi.
Namun dalam pelaksanaannya pendidikan inklusi mengalami beberapa permasalahan yang berasal dari faktor internal maupun eksternal. Salah satu contoh dari faktor internal adalah kurangnya tenaga pendidik yang berkompeten dalam bidang ABK. Padahal tenaga pendidik merupakan faktor utama dalam dunia pendidikan. Di dalam pendidikan inklusi, tenaga pendidik khususnya guru pendamping bagi ABK sangat dibutuhkan untuk kelancaran dalam kegiatan belajar mengajar karena anak ABK membutuhkan pelayanan khusus.
Salah satu contoh faktor eksternal adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya pendidikan ABK. Karena kurangnya pengetahuan tersebut maka masyarakat cenderung menganggap remeh dan mengabaikan kehadiran mereka. Oleh karena itu kami mengangkat permasalahan ABK dalam pendidikan inklusi sebagai bahan makalah ini.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.
 Dalam undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang No.20 tahun 2003tentang system pendidikan nasional dinyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak yang lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
D.K.Lipsky dan A.D Gartner (2000) mengatakan bahwa : “Inclusive education as : Providing to all students, including those with significant disabilities, equitable opportunities to receive effective educational services, with the needed supplemental aids and support service, in age-appropriate classes in their neighborhood, in other to prepare students for productive lives as full member of society.
Sedangkan inklusi mempunyai pengertian yang beragam, diantaranya adalah :
a)         Stainback dan stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
b)        Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas regular.
c)         Sapon – Shevin (O Neil 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.
Menurut Permendiknas No. 70 tahun 2009 pendidikan inklusi didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiiki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi :
a.       Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual. Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
b.      Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
c.       Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
d.      Kepala sekolah dan guru (yang nantinya akan menjadi GPK = Guru Pembimbing Khusus) harus mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
e.       GPK mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi ABK.
f.       Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengetahui ABK dan tindakan yang diperlukan. Mengadakan bimbingan khusus atas kesepahaman dan kesepakatan dengan orang tua ABK.
g.      Mengidentifikasi hambatan yang berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.
h.      Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.

1.1  PERMASALAHAN YANG MUNCUL
a.       Tenaga pendidik
1)      kurang seimbangnya tenaga pendidik yang memiliki kriteria khusus yang diharapkan mampu membina ABK dengan jumlah ABK itu sendiri
2)      paradigma pemikiran tenaga pendidik yang masih konfensional
3)      tenaga pendidik mengeluh dengan merasakan terbebani mengajarkan pada anak berkebutuhan khusus
4)      terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para pendidik sekolah inklusi
b.      Sekolah
1)      kurangnya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan ABK
2)      sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
c.       Orang tua ABK
1)   Kurang kesadaran untuk mengembangkan kemampuan ABK
2)   kurangnya pengertian orang tua terhadap makna ABK
3)   orangtua enggan mengirim anak yang berkebutuhan khusus ke sekolah biasa karena khawatir akan mendapat penolakan atau diskriminasi

d.      Masyarakat
1)      cemoohan siswa yang lain pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
2)      masyarakat beranggapan bahwa ABK adalah anak cacat yang selalu merepotkan
3)      kurangnya pengertian masyarakat terhadap makna ABK

1.2  LINGKUNGAN PENDIDIKAN INKLUSI
Meski sampai saat ini sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu sedikitpun.
Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1.      Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2.      Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3.      Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
4.      Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika.
5.      Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
1.3  PENGEMBANGAN KURIKULUM
1)        Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1.      alokasi waktu,
2.      isi/materi kurikulum,
3.      proses belajar-mengajar,
4.      sarana prasarana,
5.      lingkungan belajar, dan
6.      pengelolaan kelas.
2)      Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
3)      Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
a)      Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
b)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.
c)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
a)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
b)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
c)      Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
a)      Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal.
b)      Menggunakan pendekatan student centerred, yang menekankan perbedaan individual setiap anak.
c)      Lebih terbuka (divergent).
d)     Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
e)      Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
f)       Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel.
Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi.
Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.

MAKNA KOMUNIKASI NON VERBAL PADA ANAK TUNARUNGU


Komunikasi merupakan satu-satunya cara untuk menyampaikan sebuah pesan yang akan disampaikan. Dunia semakin cepat berubah, dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan teknologi sudah demikian pesatnya memberikan dampaknya yang menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Salah satu hal yang berkembang sangat pesat dan menjadi pemicu dari perkembangan yang ada adalah komunikasi. Dalam perkembangan terakhir dimana dunia informasi menjadi sangat penting dalam aspek kehidupan, maka komunikasi akhirnya tidak dapat ditawar lagi dan menjadi bagian yang sangat penting dalam melengkapi kehidupan manusia. Metode, fasilitas dan perangkatnya pun sudah berkembang maju sedemikian modernnya sehingga sekarang dunia seakan tidak ada batas lagi, manusia dapat berhubungan satu-sama lain dengan begitu mudah dan cepatnya.
Komunikasi adalah sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mencari data atau menyampaikan informasi yang kemudian dikemas menjadi sebentuk pesan untuk kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk kode visual, kode suara, atau kode tulisan.
 Komunikasi juga dibedakan menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan dengan menggunakan kata-kata, begitu sebaliknya komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi non verbal yaitu penggunaan expresi wajah marah ataupun bahagia tanpa menggunakan kata-kata.
Salah satu bentuk komunikasi yang banyak berpengaruh terhadap efektifitas pembicaraan adalah komunikasi non-verbal (tanpa kata). Adakalanya seseorang kurang memahami makna dan pengaruh komunikasi non-verbal terhadap suksesnya pembicaraan.
Komunikasi Antar Manusia, atau seringkali dalam beberapa literatur disebut Human Communication, merupakan kegiatan penyampaian informasi, berita, pesan, atau amanah dari seseorang kepada orang lain dengan harapan agar hal-hal yang diberitahukan itu dapat diterima, dimengerti, diikuti dan diaplikasikan, bahkan menjadi milik bersama antara sumber dan penerima.
Kegiatan komunikasi dilaksanakan dengan menggunakan lambang atau kode. Kode yang sebagian besar digunakan dalam komunikasi adalah kode yang diucapkan atau ditulis (kode yang berhubungan dengan penggunaan kata-kata). Tetapi sesungguhnya masih ada kode lain yang sangat penting peranannya dalam komunikasi, yaitu kode non-verbal, atau kode tanpa kata.
Sewaktu kita mengadakan pembicaraan dengan seseorang, cara yang terbaik yang dapat kita perbuat, ialah mencoba membangkitkan dengan perantaraan lambang-lambang lisan atau visual, dengan arti atau makna serta pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki oleh pendengar atau penerima. Hanya bunyi dan tanda-tanda yang dapat kita sampaikan. Karena setiap orang mempunyai suatu perbendaharaan tanda-tanda dan bunyi yang berlain-lainan, maka dengan mudah dapat kita pahami, bahwa tidak mungkin ada dua orang yang mempunyai arti-arti yang sama atau serupa betul.
Karena itu, apa yang dikeluarkan atau disampaikan seseorang sebagai suatu komunikasi, mungkin sekali sedikit berlainan, malah kadang-kadang jauh menyimpang bagi orang yang mendengarkan atau menerimanya. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh seseorang komunikator demi suksesnya komunikasi. Disini penulis akan meneliti tentang bentuk komunikasi non verbal yang digunakan atau sering diterapakan pada anak tunarungu. Meskipun anak tunarungu tidak dapat mendengar dan berbicara akan tetapi mereka mempunyai symbol untuk mengutarakan isi hatinya atau untuk menyampaikan pesan kepada orang lain dengan bahasa tubuhnya sendiri.






LATIHAN SOSIAL ANAK TUNARUNGU DALAM MENGEMBANGKAN PEMBELAJARAN DI TAMAN KANAK-KANAK


Bagi anak tunarungu mampu memahami dan menemukan pribadinya (jati dirinya), mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta dapat menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan lebih lanjut. Sebab secara nyata anak tunarungu perlu bersosialisasi dengan lingkungan, baik itu lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat luas.Kadang kala dalam berinteraksi sosial terhadap lingkungan anak merasa dirinya terasing dari yang lain. Hal ini tentu merupakan dampak dari ketunarunguannya, karena berkomunikasi terhambat sehingga psikologi dan sosialnya berpengaruh, maka dalam bertingkah laku menunjukkan keangkuhan dan kesombongannya.
Kekakuan, egosentris, dan keras kepala ini merupakan bagian dari aspek psikologis dan sosial, semua ini akan muncul apabila anak tunarungu telah berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga didalam menghadapi hidup ini anak tunarungu merasa asing dari lingkungan sosialnya. Ini disebabkan karena penyandang tunarungu kurang atau tidak dapat merespon perintah-perintah secara verbal yang meliputi kepada kekurangan dalam penguasaan bahasa sehingga fokus pemikirannya juga terbatas, sehingga semua ini dapat mengakibatkan kemunduran untuk bersoialisasi.
Untuk mengatasinya kita selaku pendidik dituntut untuk dapat mengetahui dan memahami karakteristik dan membaca situasinya. Sebagaimana kompleknya permasalahan yang dimilikinya semua akan berpengaruh kepada tingkah laku ATR. Dan adanya kerja sama dari faktor eksternal maupun internal dalam membantu mengembangkan latihan siosial anak tunarungu.
A.     Latihan sosial anak tunarungu dapat dilakukan di :
1.      Di mulai dirumah. Sebagaiman diketahui bahwa banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa pengalaman yang mereka berikan, kurang memberikan pengalaman batiniah. Seperti dengan memberikan berbagai jenis mainan, tetapi tidak dipuaskan dengan meberikepuasan untuk mengkomunikasikan perasaan senangnya. Oleh karena itu orang tua hendaknya memberikan kepuasan dalam pengalaman lahiriah maupun batiniah.sekalipun anak tunarungu belum dapat bicara, orang tua wajib mengkomunikasikannya dengan cara menagkap maksud anak, gerak gerik badan , ekspresi wajah atau lewat suara yang dikeluarkan sambil menunjuk sesuatu.
2.      Latihan selanjutnya memberikan kesempatan pada anak tunarungu bergabung dengan keluarganya, orag asing ataupun dengan teman sebayanya. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dimana anak dapat ikut gabung bersama keluarganya pada saat jam makan siang dan malam, dan beraktivitas bersama keluarga, orang tua juga dapat mengajak anak untuk mengunjungi kerabat dan memperkenalkan mereka pada sanak saudara yang datang berkunjung.
3.      Kegiatan yang lain adalah member kesempatan kepada anak untuk bermain seluas mungkin dengan teman sebayanya karena bermain merupakan aktivitas belajar.banyak jenis permainan yang secara tidak langsung mempersiapkan anak untuk hidup bermasyarakat dan melatih fisik dan mental. Biarkan anak tunarungu untuk dapat bermain dengan anak normal agar mereka belajar mengatasi usia bergaul di usia jenjang.dan sebaiknya teman yang normal diberika penjelasan bagaimana cara berkomunikasi.
4.      Anak tunarungu diberi prilaku yang baik. Melakukan pekerjaan bersama-sama akan lebih cepat dimengerti oleh anak tunarungu dari pada memberikan perintah dengan kalimat yang panjang.
5.      Kegiatan latihan selanjutnya yaitu melatih anak untuk meningkatkan keterampilannya dalam berbagai barang-barang miliknya ataupun perasaan kepemilikan bersama sehingga ia akan rela menunggu untuk mendapat giliran dan perhatian dari orang tua dan gurunya.
6.      Terakhir adalah dalam melatih keterampilan sosial adalah jangan pernah mendorong anak tunarungu utuk bersosialisasi pada saat ia belum siap melakukannya. Secara alami, anak mungkin merasa malu atau belum siap serta bagi anak tunarungu anak akan merasa menutup diri dari lingkungan akibat ketunarunguannya. Oleh karena itu pemberian motivasi secara perlahan akan sangat membantu anak, sebaliknya apabila ada pemaksaan pada saat anak belum siap maka akan membuat anak menarik diri dari lingkungan.

B.      MATERI PEMBELAJARAN PENGEMBANGAN SOSIAL DI TAMAN KANAK-KANAK
Perkembangan sosial anak tunarungu sangat terkait dengan perkembangan emosional anak. Oleh karena itu, target prilaku yang menjadi sasaran memiliki kesamaan.
1.      Empati
Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, untuk mengerti pandangan dan perasaan orang tersebut atau untuk mengalami seperti apa yan dialami oleh orang tersebut. Bagi anak tunarungu perkembangan empatinya sama seperti anak norma pada umumnya. Oleh karena itu orang tua dan juga guru harus memberikan medel dan prilaku yang baik agar anak tunarungu juga akan menirukan prilaku yang baik dari orang terdekatnya. Empati bagi anka tunarungu sangat berperan penting dalam sosialisasi . karena adanya proses berempati yang baik akan memantu anak bergaul dengan lingkungannya secara lebih sehat dan bertanggung jawab.
2.      Afiliasi
Bagi anak tunarungu cenderung memiliki rasa takut dan rasa cemas yang berlebiahan akibat ketunarunguan yang dialaminya.oleh karena itu proses afiliasi sangat berperan penting bagi anak tunarungu untuk dapat beraul bersama orag lain. Seperti apabila anak membeli suatu jajanan, ditemani oleh teman  teman sebayannya agar anak merasa terlindungi dan tidak merasakan cemas dan takut yang berlebihan.
3.      Identifikasi
Identifikasi adalah proses pengaruh sosial pada seseorang yang didasarkan pada keinginan orang tersebut menjadi individu lain yang dikagumi. Bagi anak tunarungu proses identifikasi tidak jauh berbeda dengan anak normal .di taman kanak-kanak proses identifikasinya kerap diperlihatkan untuk mengikuti teman sebayanya yaitu menirukan prilaku atau penampilan yang sering dilakukan oleh teman sebaya ataupun oleh keluarga terdekat seperti ayah, ibu, kakak. Seperti seorang anak perempuan yang sering menggunakan pewarna bibir karena ia ingin seperti ibunya.Namun dengan pertambahan usia anak, biasanya anak mulai berontak pada displin dirumah ataupun disekolah. Oleh karena itu guru sebaiknya menerapkan nilai-nilai moral.
4.      Self Acceptance
Adalah sikap menerima diri sendiri, suatu sikap yang erat kaitannya dengan kemampuan seorang anak dalm menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosialnya.biasanya bagi anak tunarungudapat menerima dirinya sebagai anak tunarungu karena dia juga melihat teman yang disukainya juga memilki ketunarunguan sama seperti dirinya . hal ini biasanya membawa pengaruh penyesuain diri yang kurang baik. Oleh karena itu guru, orang tua ataupun teman sebaya yang normal memberikan pengarahan dan motivasi agar anak dapat berinteraksi dengan orang sekitar dan lingkunagn masyarakat tanpa adanya rasa cemas anak.
Dalam menciptakan suatu lingkungan yang relevan sesuai dengan tugas dan perkembangan psikologi sosial anak tunarungu, peran orang tua, guru serta masyarakat sangatlah dibutuhkan.tanpa memandang sutu perbedaan yang ada. Dengan mengadakan interaksi sosial yang berkelanjutan, anak tunarungu diharapkan dapat mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara, agar anak dapat melatih kemampuan bicaranya  secara langsung serta dapat menerima norma-norma yang ada dalam masyarakat dan bisa menyesuaikan diri apabila dilatih sejak kanak-kanak.


Minggu, 08 April 2012

IMPLIKASI PERKEMBANGAN ANAK TUNARUNGU TERHADAP LINGKUNGAN


Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tunarungu tidak dapat berbuat apapun. Pandangan yang semacam ini sangat merugikan anak tunarungu. Karena adanya pandangan ini biasanya dapat kita lihat sulitnya anak tunarungu untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Disamping pandangan karena ketidakmampuannya tadi, Ia sulit untuk bersaing dengan orang normal.

Kesulitan memperoleh pekerjaan di masyarakat mengakibatkan timbulnya kecemasan, baik dari anak itu sendiri maupun dari keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapat bekerja sebagaimana biasanya. Oleh karena itu masyarakat hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan oleh orang normal pada umumnya. Untuk menunjang keaktifan anak tunarungu agar mereka tidak disisihkan dari masyarakat dan tidak di anggap remeh dalam masyarakat maka diperlukan peranan orang tua dalam pendidikan anak tunarungu serta implikasi untuk peningkatan layanan pendidikan dan latihan bagi anak tunarungu.

1.      Peranan orang tua dalam pendidikan anak tunarungu
Setiap orang tua pasti tidak pernah membayangkan bahwa anaknya akan menyandang pendikat anak luar biasa atau berkelainan. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan berbagai macam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindari dari kenyataan ini, seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Tetapi ada juga yang berhati mulia menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anak yang berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua terhadap kelainan anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu kebijakan yang paling besar. baik untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun untuk orang tua atau keluarganya. Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima tidak berarti menyerah kepada nasib dirinya maupun anaknya tanpa memikirkan dan merencanakan prospek kehidupan masa depan anaknya. Sikap menerima justru mendorong motivasi utuk merencanakan kesejahteraan kehidupan lahir dan batin yang layak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Ada persepsi lain bahwa pada Pada awalnya banyak orang tua yang bersikap menolak bahwa anaknya difonis sebagai kurang mendengar atau tunarungu. Biasanya sikap menolak dan tidak mau menerima terhadap kekurangan anaknya. Bahkan kadangkala orang tua atau keluarga saling menyalahkan dan saling tuding sehingga akan menimbulkan kekacauan baru berupa keretakan rumah tangga. Adapun sikap orang tua terhadap anak selanjutnya adalah sikap terlalu melindungi (over protection) dan semua gerak anak selalu diawasi.Seiring dengan berkembangnya anak, maka kesulitan lainnya yang muncul adalah masalah penciptaan bahasa isyarat bagi anak. Bagi anak akan berbeda bila dihadapkan pada dunia atau kelompok orang-orang yang tidak mengerti bahasa isyaratnya.Dampak ketunarunguan yang telah tercermin dalam karakteristik, semuanya berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya proses pendidikan.

Berikut ini disarankan beberapa petunjuk yang dapat diperguakan sebagai pegangan dalam mendidik dan melatih anak tunarungu:
·         Didiklah anak tunarungu seperti mendidik anak yang mendengar, maksudnya orang tua bersikap sama terhadap anak-anaknya. Adapun caranya bisa berbeda disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan anak tunarungu.
·         Libatkanlah anak tunarungu dalam kegiatan keluarga. Jangan mengasingkan anak tuanrungu.
·         Jangan memanjakan anak tunarungu secara belebihan.
·         Berilah anak tunarungu kesempatan bermain seluas mungkin termasuk bermain dalam aktivitas belajar juga.banyak permainan yang secara tidak langsung mempersiapkan diri anak agar kelak dapat hidup dalam bermasyarakat.
·         Anak tunarungu harus diberikan contoh prilaku yang baik.
·         Anak tunarungu perlu dilatih agar senang membantu pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan permainan, menyapu, menyuci, merapikan rak buku/ lemari pakaian.mengerjakan hal-hal yang kecil seperti itu sama halnya dengan membiasakan untuk menerima tanggung jawab.

Untuk mengatasi tantangan tersebut ada empat prinsip yang perlu diperhatikan sebagai pertimbangan untuk mensukseskan pendidikan anak tunarungu.Gallauded (1997) dalam Harris dkk (1997) menyampaikan antara lain :
·         anak tunarungu diharapkan mampu mengakses bereneka ragam lingkungan pendidikan secara luas,
·          para siswa tunarungu diharapkan mampu mengakses semua layanan khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan pendidikan normal,
·         siswa dan para orang tua diharapkan mampu mengakses secara bebas pilihan program pendidikan, dan
·         tingginya biaya pendidian anak tunarungu tidak semata-mata disebabkan oleh satu atau beberapa faktor melainkan kompleks.Cohen et.al. dalam Harris dkk (1997) berpendapat bahwa tingkat kemampuan yang rendah anak tunarungu tidak disebabkan karena ketidak mampuan belajar mereka tapi lebih disebabkan adanya problem-problem dalam komunikasi antara guru dan siswa tunarungu. Ini juga disebabkan ketakmampuan mereka mengakses/memahami bahasa dalam setting di kelas. Hal yang paling penting lagi bahwa anak-anak didik secara meinstreming (terintegrasi) harus mampu memahami bahasa yang ada di lingkungan.Para pendidik diharapkan mampu memberikan bantuan pada anak tunarungu dengan mengarahkan mereka pada lembaga bimbingan sebagai bimbingan tambahan. Seorang konselor/pendidik apabila menemui masalah atau kesulitan dalam hal kebahasaan atau komunikasi dengan anak tunarungu, maka ia dapat menggunakan jasa penterjemah bahasa anak tunarungu.

2.      Peningkatan layanan pendidikan dan layanan pendidikan dan latihan bagi anak tunarungu.
·         Bimbingan dan konseling bagi anak tunarungu.
Masalh-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan (tunarungu) namun karena ia seorang anak yang berkembang. Anak akan menghadapi masalh-masalah yang lain yang juga dihadapi oleh anak-anak yang mendengar, untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan orang yang mendengar. Agar dapat memberikan layanan bimbingan kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat mensuport dirinya sendiri ataupun keluarganya maka pendidikan bagi anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan dan konseling yang biasanya guru menjadi objek pertama memiliki latar belakang pengetahuan mengenai dinamika tingkah laku anak tunarungu.
·         Bimbingan komunikasi kepada anak tuanarungu hambatan dan komunikasi menimbulkan masalah dalam sosialisasi , karena sosialisasi hanay dapat dilaksanakan dengan komunikasi. Dalam kehidupan bermasyarakat sesorang harus memahami kedudukannya, statusnya, hak dan kewajibannya. Bimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan untuk membuka dan memperlancar komunikasi mereka, sehingga akan memperlancar pencapaian tujuan yang dilakukan secara serempak di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
ü  Bimbingan di lingkungan keluarga antara lain : mengarahkan pergaulan, menanamkan rasa tanggung jawab, latihan memahami perintah, anjuran, ajakan, latihan penghayatan, dan belajar ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, letihan mengungkapkan pendapat, orang tua sebagai pembimbing utama dalam lingkungan keluarga, perlu memahami benar keadaan anaknya.
ü  Bimbingan diligkungan sekolah
Bimbingan yang dilakukan disekolah dapat melalui lomunikasi dalam hal mentaati tata tertib, disiplin, dalam hubungan social yang lebih luas, menanamkan rasa tanggung jawab dalam memikul tugas kelompok maupun individual, sopan santun serta memberikan sesuatu yang baik.pemahaman seorang guru terhadap siswanya secara individual sangat penting, terutama dalam kemampuan dan kecakapan anak dalam bekomunikasi dan sosialisasinya.
ü  Bimbingan di lingkungan masyarakat
Bimbingan komunikasi yang dilakukan di masyarakat dapat melalui kegiatan yang berencana dan terarah. Kegiatan berencana tersebut misalnya yang memberikan peluang untuk berkomunikasi secara bebas., misalnya kegiatan pertandingan-pertandingan olah raga, pementasan seni, pameran, perkemahan dan lain sebagainya. Kegiatan yang sifatnya insidentalpun dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan bimbingan dalam komunikasi secara bebas misalnya mengikut sertakan anak dalam upacara perkawinan, khitanan dan kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tentu tidak bisa lepas dari peran serta orang tua dalam bekerja sama dengan masyarakat sehingga pelaksanaan bimbingan tersebut daapt berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan yang diharapkan.

Lingkungan juga mencakup aspek-aspek masyarakat secara keseluruhan yang sangat penting adalah definisi cultural tentang ketunarunguan dan sikap terhadap ketunarunguan . Makna yang diberikan oleh masyarakat terhadap ketunaan juga berdampak besar pada respon individu terhadap ketunaan. Sikap masyarakat dapat termanifestasikan dalam perundang-undangan, maupun dalam penggambaran citra, pendeskripsian dalam bahasa, dan inklusi penyandang ketunaan dalam semua aspek kehidupan. Apabila individu mendapatkan pengalaman negative dalam hal tersebut, maka ketunaannya pun berdampak besar pada kehidupannya. Seorang konselor rehabilitasi harus memahami konteks social, politik, dan budaya dari ketunaan, agar dapat memahami pengalaman individu tersebut.
Gerakan hak azasi penyandang ketunaan, yang dipimpin oleh individu penyandang ketunarunguan , telah memaksakan perubahan social positif yang signifikan bagi para penyandang ketunaan dalam pelayanan, kemandirian, perlindungan hukum, control, pilihan, dan penghormatan. Dengan mengorganisasikan, memaksakan konfrontasi, dan berusaha untuk mengubah system, banyak penyandang ketunaan dapat mengembangkan rasa bangga dan berdaya (Fleischer & Zanies, 2001; Shapiro, 1993). Sayangnya, gerakan hak azasi penyandang ketunaan ini tidak selalu dipandang positif oleh masyarakat umum, oleh profesional, ataupun oleh kelompok penyandang ketunaan tertentu. Ada orang yang merasa kesal dengan kemandirian dan "bossiness" para konsumen ini, atau merasa bahwa kemarahan dan pembangkangan sipil itu tidak pantas, dan beranggapan bahwa para penyandang ketunaan seharusnya berkiprah dalam system yang ada saja.
Konselor harus menelaah sikapnya terhadap ketunaan yang telah diserapnya dari masyarakat umum, maupun perasaannya tentang kemandirian, pilihan, dan kemarahan dari pihak penyandang ketunaan. Setiap konselor perlu mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah saya menginginkan atau mengharapkan ucapan terima kasih dan kepatuhan dari klien saya? Apakah saya sadar akan hambatan lingkungan, perundang-undangan, dan hambatan social yang dapat mewarnai detail kehidupan sehari-hari seorang individu penyandang ketunaan?
Di dalam masyarakat ini, yang menghargai kemandirian, rasionalitas, dan keindahan fisik, penyandang ketunaan secara signifikan menjadi terdevaluasi (Vash,1981). Devaluasi ini mungkin termanifestasikan dalam bentuk ungkapan rasa kasihan, cemooh, atau pengucilan. Sikap negative masyarakat pada umumnya terhadap ketunaan dapat mempunyai dampak yang signifikan pada konsep diri seorang individu. Dalam kenyataannya, tidak ada demarkasi yang jelas antara persepsi masyarakat tentang ketunaan dengan penyesuaian individu terhadap ketunaannya karena individu menginternalisasikan banyak penilaian dan reaksi masyarakat terhadap ketunaan (Smart, 2001). Harga diri (self-esteem) berkembang secara internal maupun eksternal selama tahap-tahap awal perkembangan. Harga diri seseorang pada umumnya diperoleh dari perilaku dan verbalisasi orang lain (eksternal). Ketika seorang individu sudah matang dan menjadi produktif, kompeten, dan bertanggung jawab, harga diri menjadi proses yang lebih berorientasi internal (Tuttle & Tuttle, 1996). produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.
Sebagian besar anak penyandang ketunaan tumbuh dengan pesan-pesan bahwa mereka tidak sebaik anak tanpa ketunaan, bahwa kelainannya membuat mereka "tidak okay". Akibatnya, banyak penyandang ketunaan memasuki masa dewasa dengan merasa membutuhkan persetujuan dan validasi. Seorang konselor sebaiknya menyadari sikap negative masyarakat terhadap ketunaan dan dampak sikap negative tersebut pada rasa harga diri individu tersebut. 
Banyak orang dewasa penyandang ketunaan tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, dan mampu menjadi anggota masyarakat yang kontributif; maka mereka berjuang untuk mengembangkan internal sources of self-esteem. Seorang konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengembangkan kesempatan-kesempatan baru, seperti menjadi relawan atau memperoleh pengalaman kerja, yang dapat meningkatkan rasa memiliki kompetensi dan produktivitas. Di samping itu, konselor mungkin dapat membantu individu dalam mengevaluasi aspek-aspek lain dari kehidupannya yang dapat membuktikan kompetensi dan produktivitasnya, tetapi yang oleh masyarakat pada umumnya tidak dihargai sebagai kerja. Memberdayakan seorang individu untuk mengidentifikasi dan mengukur daya produktivitasnya berdasarkan makna personal, mungkin merupakan sebuah pertimbangan yang penting dalam memberikan konseling kepada individu dengan rasa harga diri rendah.