Di Indonesia pemerintah sedang
berupaya meningkatkan mutu pendidikan yang diwujudkan dalam pembuatan program –
program baru, contohnya program dana BOS dan sekolah gratis. Pendidikan bagi
ABK pun tidak luput dari perhatian pemerintah. Sehingga pemerintah mulai
mengupayakan program – program baru dalam rangka meningkatkan potensi ABK dalam
bidang akademik maupun non akademik. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 (amandemen)
pasal 31 ayat 1, yaitu “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Salah
satu program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk pendidikan ABK adalah
pendidikan inklusi.
Namun dalam pelaksanaannya
pendidikan inklusi mengalami beberapa permasalahan yang berasal dari faktor
internal maupun eksternal. Salah satu contoh dari faktor internal adalah
kurangnya tenaga pendidik yang berkompeten dalam bidang ABK. Padahal tenaga
pendidik merupakan faktor utama dalam dunia pendidikan. Di dalam pendidikan
inklusi, tenaga pendidik khususnya guru pendamping bagi ABK sangat dibutuhkan
untuk kelancaran dalam kegiatan belajar mengajar karena anak ABK membutuhkan
pelayanan khusus.
Salah satu contoh faktor
eksternal adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya pendidikan
ABK. Karena kurangnya pengetahuan tersebut maka masyarakat cenderung menganggap
remeh dan mengabaikan kehadiran mereka. Oleh karena itu kami mengangkat
permasalahan ABK dalam pendidikan inklusi sebagai bahan makalah ini.
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan
pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang
sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk
penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada
semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap
penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat,
kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997
tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan
badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa
disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak
seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun
daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan
sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk
menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi
yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah
yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping
memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi
sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah
inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah
didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan
35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang
diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu
mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang
belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut. Perasaan mereka sangat bahagia dan
bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak
berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia
menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya
yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan
mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya,
evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak
tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun
2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi
pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu,
informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini
tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem
SKS SMA dan lain-lain.
Dalam undang-Undang
Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang No.20 tahun 2003tentang system
pendidikan nasional dinyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak
berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak yang
lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
D.K.Lipsky dan A.D Gartner (2000)
mengatakan bahwa : “Inclusive education
as : Providing to all students, including those with significant disabilities,
equitable opportunities to receive effective educational services, with the
needed supplemental aids and support service, in age-appropriate classes in
their neighborhood, in other to prepare students for productive lives as full
member of society.
Sedangkan
inklusi mempunyai pengertian yang beragam, diantaranya adalah :
a)
Stainback dan stainback
(1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua
siswa di kelas yang sama.
b)
Staub dan Peck (1995)
mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan
tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas regular.
c)
Sapon – Shevin (O Neil
1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai system layanan pendidikan
yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah
terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.
Menurut Permendiknas No. 70
tahun 2009 pendidikan inklusi didefinisikan sebagai sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiiki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan
mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang
sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat
adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan
untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak
keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak
tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi
mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di
mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat
anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi,
bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga,
pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi
berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life)
yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat
menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah
atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak.
Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap
anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan
kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga
melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan,
terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan
guru berpusat pada anak.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi :
a.
Sekolah harus
menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan. Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan
menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual. Guru harus
menerapkan pembelajaran yang interaktif.
b.
Guru dituntut
melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya lain dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
c.
Guru dituntut
melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
d.
Kepala sekolah dan
guru (yang nantinya akan menjadi GPK = Guru Pembimbing Khusus) harus
mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
e.
GPK mendapatkan
pelatihan teknis memfasilitasi ABK.
f.
Asesmen di sekolah
dilakukan untuk mengetahui ABK dan tindakan yang diperlukan. Mengadakan
bimbingan khusus atas kesepahaman dan kesepakatan dengan orang tua ABK.
g.
Mengidentifikasi
hambatan yang berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya
terhadap akses dan pembelajaran.
h.
Melibatkan
masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi
semua anak.
1.1
PERMASALAHAN
YANG MUNCUL
a.
Tenaga pendidik
1)
kurang seimbangnya
tenaga pendidik
yang memiliki kriteria khusus yang diharapkan mampu membina ABK dengan jumlah
ABK itu sendiri
2)
paradigma pemikiran
tenaga pendidik
yang masih konfensional
3)
tenaga pendidik
mengeluh dengan merasakan terbebani mengajarkan pada anak berkebutuhan khusus
4)
terbatasnya pengetahuan
dan ketrampilan yang dimiliki oleh para
pendidik sekolah inklusi
b. Sekolah
1) kurangnya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan ABK
2) sistem
kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program
eksperimental.
c. Orang tua ABK
1) Kurang kesadaran untuk mengembangkan kemampuan ABK
2) kurangnya
pengertian orang tua terhadap makna ABK
3) orangtua
enggan mengirim anak yang berkebutuhan khusus ke sekolah biasa karena khawatir
akan mendapat penolakan atau diskriminasi
d. Masyarakat
1) cemoohan
siswa yang lain pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
2) masyarakat beranggapan bahwa ABK adalah anak cacat yang
selalu merepotkan
3) kurangnya pengertian masyarakat terhadap makna ABK
1.2
LINGKUNGAN
PENDIDIKAN INKLUSI
Meski sampai saat ini
sekolah inklusi masih terus melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, namun
dilihat dari sisi idealnya sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal baik
bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat
mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari
interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek social dan
emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang
kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan
khusus memiliki prestasi yag baik tanpa merasa terganggu sedikitpun.
Menurut Staub dan Peck (1994/1995)
ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut
pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak
berkebutuhan khusus.
2.
Anak non
ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu
teman ABK.
3.
Banyak anak
non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan
ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
4.
Anak non
ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip
etika.
5.
Anak non
ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat
dengan ABK
Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa
pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan
menguntungkan.
1.3 PENGEMBANGAN
KURIKULUM
1)
Lingkup Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan
kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi
(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus,
dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan
terhadap:
1.
alokasi
waktu,
2.
isi/materi
kurikulum,
3.
proses
belajar-mengajar,
4.
sarana
prasarana,
5.
lingkungan
belajar, dan
6.
pengelolaan
kelas.
2)
Pengembang
Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum
pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri
atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai
pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar
Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan
Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi
(Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
3)
Pelaksanaan
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
a) Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan
mengacu pada kecepatan belajar siswa.
Misalnya materi pelajaran (pokok
bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar)
diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam. Untuk anak berkebutuhan khusus yang
memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi
4 jam.
b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam.
c) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi
di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau
lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
a) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak
ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting
untuk anak berbakat.
b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
c) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya
seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses
belajar-mengajar
a) Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi,
yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak
berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal.
b) Menggunakan pendekatan student centerred, yang
menekankan perbedaan individual setiap anak.
c) Lebih terbuka (divergent).
d) Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena
kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling
bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
e) Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif
seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan
pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin
dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
f) Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa
(ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe
kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga
hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja
Minimnya
sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi
sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi
keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga
sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi
ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan
langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus
berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh
siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup
untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel.
Alih –
alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang
inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam
lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru
yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.
Cooperative
Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual
understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap
kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar
ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama
ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive
learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para
guru dalam menjalankan pendidikan inklusi.
Pada
akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan
kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan
sosial para siswa.